Buku Rahasia Ayah Edy Memetakan Potensi Unggul Anak yang membuka pikiran saya

Saya baru saja menyelesaikan membaca buku ‘Rahasia Ayah Edy Memetakan Potensi Unggul Anak’ karangan Ayah Edy seorang pemerhati anak dan pendidikan. Ini adalah salah satu dari 3 buku Ayah Edy yang saya miliki. Awalnya saya ingin membaca buku ini untuk bekal mengasuh anak-anak saya kelak. Tapi ternyata buku ini benar-benar membuat saya berpikir tentang diri saya sendiri.Image

Jadi inti dari buku ini adalah multiple intelegence. Bahwa anak adalah unik. Tidak ada anak yang bermasalah. Bahwa setiap anak terlahir dengan bibit unggul masing-masing yang harus digali dan dikembangkan untuk mencapai kesuksesan. Anak yang memilih jalur yang tidak sesuai dengan bibit unggul dan minatnya akan jadi anak yang nanggung. Tidak maksimal dalam melakukan apa yang dia lakukan.

“Mengapa negeri ini rapuh? Karena banyak pohon beringin ingin jadi pohon jeruk, dan pohon jeruk ingin jadi pohon mangga.”
—Gede Prama

Sementara pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang menganut single inteligent. Pendidikan yang membuat sebagian besar anak bisa dalam banyak hal tapi tidak ada satu bidangpun yang kehebatannya world class. Sementara orang tua juga mendikte anak untuk masuk ke bidang-bidang favorit yang berpotensi untuk cepat kaya, meskipun itu bukan bidang yang menjadi potensi unggul & minat anaknya. 

Banyak sekali di kehidupan sehari-hari saya menemukan orang-orang yang nanggung dalam pekerjaannya. Contohnya dokter. Kedokteran adalah jurusan paling populer saat ini. Bidang yang mempunyai image membuat orang cepat kaya. Tujuan orang untuk masuk ke bidang ini banyak yg bukan karna potensi unggul atau karna passionnya untuk membantu orang, tapi karena uang. Jadinya tidak semua dokter benar-benar menguasai bidangnya. Tidak semua dokter tulus melakukan pekerjaannya. Saya sampai 7x ganti dokter kandungan waktu hamil anak pertama untuk menemukan dokter yang menurut saya benar-benar menguasai dan total di bidangnya.

Contoh lain tidak usah jauh-jauh.. diri saya sendiri. Saya masuk ke jurusan tertentu karna jurusan itu adalah jurusan favorit. Bahkan waktu saya memilih jurusan itu saya tidak tahu mau jadi apa. Pikiran saya waktu itu adalah yang penting kuliah dulu di jurusan favorit di universitas favorit, pasti masa depan cerah.

Saya adalah anak yang disebut ‘normal’ waktu di sekolah. Saya patuh, rajin belajar (mungkin sebagian besar adalah menghafal kebut semalam dan bukan benar2 belajar), rajin mengerjakan tugas, nilai saya selalu bagus, selalu 3 besar di kelas. Sementara beberapa teman2 saya yang lain juga tergolong anak ‘normal’. Mereka juga patuh, selalu mengumpulkan tugas (meski kadang hanya menyalin dari tugas murid lain), selalu mendapat nilai bagus (karna beberapa teman yang lain dengan rela menyebarkan jawaban soal yang dikerjakan saat ulangan). Tapi baik yang nyontek maupun yang diconteki termasuk anak yang berlabel ‘normal’. Dan waktu itu saya dan teman-teman sayapun tidak tersadar kalau hal itu adalah salah. Itu sudah biasa. Sudah menjadi budaya. Padahal sekolah saya dari SD-SMA itu adalah sekolah-sekolah favorit di kota saya. Sekolah2 favorit saja seperti ini apalagi yang tidak favorit. ;D

Itu hanya ‘dosa kecil’ yang ada di sekolah itu. Untung saja sekolah itu sekolah favorit yang lingkungannya bagus. Karakter murid2nya juga cukup bagus. Jadi meskipun ada ‘dosa-dosa kecil’ seperti itu, manusia-manusia yang dihasilkan adalah manusia yang lebih unggul (di bidang akademik) dibandingkan sekolah-sekolah lain di kota saya. Dan untungnya sudah tidak ada rutinitas seperti ini di bangku kuliah saya.

Dan lebih beruntung lagi saya punya kesempatan untuk bekerja di perusahaan asing bersama orang-orang asing dan sempat juga di negri asing yang cukup ‘kejam’. (Sebenarnya bukan kejam. seperti itulah seharusnya bekerja. ) Tapi kalau dibandingkan dengan budaya kerja orang Indonesia terutama di pemerintahan, pekerjaan di perusahaan asing tersebut memang terlihat kejam. 😀

Saya belajar banyak sekali di perusahaan dan negri asing ini. Terutama pelajaran attitude. Dari yang besar hingga hal-hal sepele. Saya belajar bagaimana memaksimalkan waktu kerja, bagaimana berpikir kritis, bagaimana untuk menghilangkan kata ‘mungkin’ ‘sepertinya’ yang sering diucapkan orang Indonesia. Bahkan saya belajar bagaimana cara menyeberang jalan yang baik, mendahulukan orang yang keluar lift, tidak menduduki bangku khusus difable di subway, belajar antri dengan sabar, belajar menikmati berjalan kaki dengan nyaman di trotoar yang lebar bersih tanpa adanya pengguna motor yang menyerobot trotoar.

Ya ampuuuun.. ternyata saya harus mempelajari hal-hal kecil ini di negri asing. Apa semua orang Indonesia jg harus ke negri ini agar punya attitude yang baik? Kenapa tidak diajarkan di sekolah saja? Kenapa malah diajarkan menghafal (yang sebagian besar akan dilupakan dan tidak berguna di kehidupan)? Kenapa malah diajarkan untuk beroerientasi pada nilai semata? Kenapa malah dibiarkan melakukan dosa-dosa kecil yang merupakan bibit untuk melakukakln dosa-dosa besar?

Oke kembali ke bidang yang saya pilih..

Intinya dari SD sampai kuliah saya ambil jalur yang ‘aman’. Jalur yang juga diambil oleh hampir semua orang di negri ini. Dan tidak ada masalah memang. Hasilnya setelah lulus kuliah saya hidup berkecukupan, tinggal di rumah sendiri, tidak bermasalah dengan transportasi, menjadi abdi negara yang merupakan pekerjaan yang diidam-idamkan banyak orang, punya keluarga kecil yang bahagia. Tapi ternyata setelah saya baca buku ini, hidup saya ini biasa sekali. Saya masih menganut TGIF (Thanx God It’s Friday). Selalu senang saat weekend tiba dan galau saat terbangun di hari Senin pagi.  Saya bisa melakukan banyak hal, tapi dengan kemampuan rata-rata dan beberapa di atas rata-rata. Di kantor, saya bisa coding, bisa menjadi sekretaris, bisa menjadi pekerja sosial, bisa akuntansi, bisa jadi event organizer, dan banyak sekali.. Tapi tidak satupun yang kualitasnya world class. Terlihat normal memang. sebagian besar orang juga merasakannya.

Saya juga sangat bersyukur dengan apa yang saya miliki. Saya banyak belajar dari orang-orang tua di pedesaan yang semeleh. Jadi meskipun kadang saya tidak terlalu menikmati perkerjaan saya, life still go on. Masih banyak hal lain yang bisa saya nikmati dan membuat saya bahagia. Tapi saya tidak seperti Mark Zuckerberg, Bill Gates, Pablo Picaso, Thomas Alfa Edison, Mariah Carey, Tom Cruise, Martaa Tilaar dsb… Orang-orang yang mempunyai spesifikasi kusus yang sangat unggul. Mereka tidak perlu bisa dalam banyak bidang. Hanya satu bidang saja (yang merupakan potensi terunggul & minatnya). Bahkan Martaa Tilaar itu adalah anak yang dicap slow learner alias telmi waktu di sekolah, Tom Cruise itu menderita dyslexia (sulit untuk membaca). Tapi mereka bisa sangat sukses di bidang yang merupakan potensi unggulnya masing-masing. Dan tentu mereka sangat menikmati setiap detik melakukan pekerjaan yang juga merupakan minatnya itu.

Jadi, saya sangat beruntung menemukan buku ini. Saya bisa terapkan untuk anak-anak dan cucu-cucu saya kelak agar mereka bisa menemukan apa yang menjadi potensi terunggulnya dan minatnya. Agar mereka tidak hanya mengejar nilai dan mengejar apa yang dikejar banyak orang melainkan mengejar sukses dan bahagia dalam bidangnya sendiri. Agar mereka bisa menikmati setiap detik melakukan pekerjaannya itu. Anak yang kelak akan membanggakan keluarga, bangsa, negara dan agama. Inilah passion saya..

Dan mungkin buku ini bisa membantu saya menemukan potensi terunggul dengan kualitas world class yang saya miliki. Dan juga menemukan passion saya yang lain yang mungkin saat ini masih terpendam. 🙂

Leave a comment